KTQS # 1996
*Dua Fungsi Niat dan Tauriyah*
🪶 Niat dalam syari’at menduduki tempat yang sangat penting. Bahkan semua perbuatan tergantung pada niatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
_“Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung pada niatnya.”_ (HR. Al-Bukhori no.1 dan Muslim no.1907)
Para ulama telah menjelaskan bahwa fungsi niat ada dua:
▪️Pertama, membedakan antara adat dengan ibadah.
🍂 Perlu diketahui, bahwa sebagian besar ibadah mempunyai kemiripan dengan adat (kebiasaan). Sehingga tidak bisa dibedakan kecuali dengan niat, kita ambil contoh puasa. Puasa pada hakikatnya menahan diri dari makan, minum, dan seterusnya dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena puasa dengan niat ibadah, tapi juga mungkin dilakukan oleh seorang dalam rangka diet, persiapan menjalani operasi besar, atau terapi, dll, maka untuk membedakannya harus dengan niat.
Begitu juga dengan mandi, ada orang yang mandi untuk menghilangkan hadats besar (janabah) ada pula mandi karena adat kebiasaan sehari-hari saja, untuk membedakan keduanya juga dengan niat.
▪️Kedua, membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lainnya.
🌾 Masih pada contoh puasa. Puasa sendiri bermacam-macam, ada puasa wajib (puasa Ramadhan, qadha) dan ada pula puasa sunnah. Padahal, tata cara dan bentuknya sama. Tidak ada yang membedakan kecuali niat.
Demikian pula dengan shalat dua raka’at, ada shalat subuh, rawatib, sunnah wudhu’, tahyatul masjid, dst. Untuk membedakan antara satu dengan yang lain adalah dengan niat.
*FIQH DAKWAH*
🍂 Bicara sedikit tentang fiqh dakwah, banyak ikwan yang mengeluhkan beratnya tantangan jika tinggal di masyarakat umum, terlebih masyarakat yang masih kental dengan amalan-amalan yang tidak ada dalilnya, seperti tahlihan, yasinan, maulidan dan seterusnya. Repotnya lagi, apabila diajak atau diundang. Satu sisi kita tahu itu adalah bid’ah, namun disisi lain kita juga khawatir nanti dituduh “yang bukan-bukan” atau “dikata-katai”, lantas bagaimana solusinya dan cara hikmah dalam menolak?
Banyak hal yang bisa kita perbuat untuk mewujudkan hikmah dalam berdakwah. Terkhusus dalam kasus-kasus seperti ini. Salah satunya, dengan menggunakan tauriyah. Tauriyah itu casingnya mirip dengan dusta. Tapi keduanya jauh berbeda, dan yang membedakan antara tauriyah dengan dusta itu terletak pada yaitu niat.
🌿 Tauriyah yaitu, mengungkapkan sesuatu yang memiliki dua makna yaitu makna jauh dan makna dekat. Lalu ketika seorang mengucapkan kata tersebut sebenarnya yang niatkan atau inginkan adalah makna yang jauh akan tetapi yang orang yang mendengar memahaminya dengan makna yang dekat.
Contoh, seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam ketika diajak oleh orang-orang kampungnya untuk menghadiri prosesi kesyirikan mereka. Lalu Nabi Ibrahim menolaknya seraya mengatakan sebagaimana yang dihikayatkan oleh Allah ﷻ dalam Al-Qur’an:
فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ
_Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit.”_ (QS. Ash-Shaffat: 89)
Orang-orang memahaminya dengan makna yang dekat yaitu sakit yang biasa dikenal sakit badannya, padahal Nabi Ibrahim menginginkan makna yang jauh yaitu maksudnya sakit batinnya karena kebenciannya terhadap kesyirikan mereka bukan sakit badan.
✍🏻 Oleh karena itu, kita bisa meneladani Nabi Ibrahim dalam hal ini. Jika diajak atau diundang untuk menghadiri acara tersebut, maka tolaklah dengan halus, kita bisa mengatakan: “Maaf pak, saya lagi sakit” dengan niat seperti Nabi Ibrahim yaitu sakit yang dengan makna jauh karena tidak suka dengan perbuatan tersebut.