KTQS # 1963
SUAMI MENOLAK MENCERAIKANNYA, APAKAH BOLEH DIA BERPISAH DARINYA TANPA CERAI?
Yang wajib atas masing-masing suami isteri adalah mempergauli pasangannya dengan cara yang baik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Mereka (para isteri) berhak mendapatkan seperti kewajiban mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah 228)
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nisa’ 19)
Jika kesalahan itu dari suami dan menelantarkan kewajibannya terhadap istri dan tidak menunaikannya, atau dia melampaui batas terhadap apa yang tidak halal darimu lalu dia melanggarnya maka engkau punya hak dalam meminta cerai jika engkau tidak mampu bersabar atasnya.
Namun jika perkaranya adalah sebaliknya, ternyata kesalahan itu adalah darimu yang mana engkau menelantarkan hak suami maka tidak halal engkau menelantarkan haknya atau melampaui batas pada haknya, dan tidak halal juga engkau meminta cerai, karena nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wanita mana saja yang meminta suaminya cerai pada perkara yang tidak mengapa (perkara yang tidak seharusnya minta cerai) maka haram atasnya bau surga”. (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Namun jika perkaranya bukan darimu dan bukan darinya, namun di dalam hatimu terdapat kebencian yang sangat terhadapnya yang tidak mungkin engkau tetap bersamanya maka tidak mengapa dalam keadaan ini engkau meminta cerai, yaitu bahwa isteri Tsabit Bin Qais Bin Syammas datang kepada nabi dan dia berkata:
“‘Wahai Rasulullah, Tsabit Bin Qais ini tidak memiliki aib dalam segi akhlak dan agama, akan tetapi saya membenci kekufuran di dalam islam, yaitu aku benci mengkufuri haknya dan aku tidak menunaikannya, lalu dia meminta cerai’, maka nabi berkata kepadanya: ‘Apakah engkau mengembalikan kebunnya (mahar) kepadanya’ dia menjawab: ‘ya’. Maka nabi berkata kepada Tsabit: ‘Terimalah kebun itu, maka dia pun sungguh menceraikannya’. Ini adalah hukum wanita meminta cerai (yaitu wanita harus mengembalikan mahar pernikahan kepada suaminya)”. (HR, Bukhari, Sunan An Nasa’’I, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ad-Duruquthni)
Adapun dia tetap bersama suaminya namun dia tidak menunaikan hak suaminya maka ini haram atasnya, kecuali jika hal itu di dalam timbal balik yang mana suami tidak menunaikan hak isteri, jika suami mencegah hak isteri, maka isteri mencegahnya dari hak suaminya dengan sekadar apa yang dia cegah dari haknya, berdasarkan firman Allah:
“Maka barangsiapa yang melampaui batas kepada kamu, maka balaslah dengan semisal yang dia lakukan kepada kamu”. (QS. Al-Baqarah 194)
“Jika kamu menghukum maka hukumlah dengan semisal yang kamu dihukum”. (QS. An-Nahl 126)
Namun keadaan suami isteri menjadi seperti ini maka yang wajib adalah upaya dalam mendamaikan diantara keduanya, yang mana orang-orang yang agamis dan berakhlak dari kalangan kerabat suami isteri hendaklah melihat perkaranya dan mendamaikan diantara keduanya, berdasarkan firman Allah :
“Jika kamu khawatir perpisahan diantara keduanya maka utuslah hakim dari ahli keluarga suami dan hakim dari ahli keluarga isteri jika keduanya menginginkan perdamaian niscaya Allah akan memberikan taufik diantara keduanya”. (QS. An-Nisa’ 35)