KTQS # 1960
HUKUM PENGOBATAN RUQYAH, KAY & TATHAYYUR : Sebuah Penjelasan Hadits HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220 Dalam Kajian KTQS # 1959
1. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallâhu’anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullah dan dalam riwayat Imam Muslim artinya yang tidak meruqyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab: “Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat” dan bersabda: “Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya.”
Ditambah lagi dengan amalan Jibril ‘alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah sahabat-sahabatnya.
Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah: “Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allah. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allah. Sedangkan arraqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik.”
Beliau berkata pula : “Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allah dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay”.
2. Tidak Minta di kay
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha’ dan menikmati musibah yang menimpa mereka.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata: “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.
Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.
Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas Radhiyallahu’anhu : Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam masih hidup.”
Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas : Sesungguhnya Nabi mengkay As’ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu’:
“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: “Dan saya tidak menyukai kay”).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Hadits-hadits tentang kay itu memuat Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
3. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.
Mereka Bertawakal Kepada Allâh. Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja’ (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha’-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan cukupi segala kebutuhannya”. (Ath-Thalaq/65: 3)
KESIMPULAN
- Ruqyah adalah pengobatan dengan pembacaan ayat-ayat Alquran atau do’a-do’a ataupun lafadz-lafadz tertentu. Kay adalah pengobatan dengan menggunakan api. Tathayyur adalah meyakini sesuatu yang menyebabkan sial atau keberuntungan.
- Meminta ruqyah dan melakukan kay hukumnya adalah makruh jika tidak adanya kebutuhan, yaitu pada saat mudah mendapatkan pengobatan lainnya.
- Dengan demikian, meminta ruqyah dan melakukan kay hukumnya adalah boleh dan tidak makruh jika adanya kebutuhan, yaitu : pada saat sulit mendapatkan pengobatan yang lainnya.
- Meminta ruqyah dan melakukan kay jika ada kebutuhan seperti di atas, maka tidaklah mengeluarkan pelakunya dari golongan 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa azab, asalkan terpenuhi kriteria istiqomah di atas agama Allah, melakukan kewajiban dan meninggalkan perkara yang Allah haramkan (bersih dari dosa)
- Terlarang mencari sebab dengan melakukan Tathayyur / Tiyaroh / Meyakini Sial atau Keberuntungan dengan apa yang menimpa dirinya.