KTQS # 1784
BIARKAN ALLAH YANG MENILAI : SYUKUR & IMAN
Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi penilai kita, jangan hanya menghitung apa saja yang belum terwujud, Jangan hanya berfokus pada semua hal yang kamu inginkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah : 105).
Didalam hidup yang terpenting adalah menghargai apa yang sudah dicapai dan mensyukuri apa yang sudah dimiliki.
Karena hidup bukan hanya tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, akan tetapi tentang mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Sehingga tidak hanya mengejar target agar bagaimana semua yang kita inginkan tercapai.
Hidup itu bukan tentang mendapatkan semua yang kita inginkan. Hidup itu bukan tentang mewujudkan semua kita inginkan, akan tetapi lebih kepada mensyukuri dan menghargai apapun yang sudah kita miliki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ada tiga hal yang harus dilakukan manusia ketika menerima nikmat Allah agar ia dipandang sebagai hamba yang bersyukur kepada-Nya.
Pertama: secara batiniah ia harus mengakui telah menerima nikmat dari Allah.
Kedua: secara lahiriah ia mengucapkan syukur atas nikmat itu.
Ketiga: ia harus menjadikan nikmat itu sebagai pendorong untuk lebih giat beribadah kepada Allah Swt.
Bila ketiga hal tersebut telah berpadu dalam diri seorang hamba, maka ia layak dikatakan sebagai hamba yang bersyukur kepada Allah.
Tiga hal tersebut sebenarnya perpaduan antara hati, lisan dan perbuatan.
Hati menjadi media untuk merasakan dan meyakini bahwa Allah-lah yang telah memberikan nikmat itu, bukan yang lain. Hati senantiasa merasakan kebaikan Allah sehingga mengakui sifat-sifat Maha Luhur yang dimiliki-Nya. Pengakuan ini akan membuka pintu ke arah ma’rifatullah dan mahabbatullah.
Lisan sebagai media untuk memuji kebaikan-Nya itu.
Sementara perbuatan merupakan transformasi kesyukuran itu yang nampak dalam bentuk ketaatan beribadah dan pencegahan diri dari segala macam bentuk kemaksiatan.
Perpaduan hati, lisan, dan perbuatan bukan hanya prasyarat dalam bersyukur kepada Allah, namun jauh lebih mendasar daripada itu juga pada pengertian iman.
Iman tidak sempurna kalau hanya ada di hati, sementara tidak ada dalam lisan dan perbuatan. Hilangnya iman dari salah satu komponen itu menyiratkan ketidaksempurnaannya. Maka, ketiganya harus padu dalam diri orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penjelasan ini membawa kita pada pengertian lebih lanjut bahwa bersyukur dan beriman kepada Allah laksana dua sisi mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Hal ini nampak dalam penegasan Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ [4] ayat 147:
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”.
Pada ayat tersebut bersyukur dan beriman digandengkan Allah. Orang yang benar bersyukurnya pada Allah pastilah imannya juga benar. Demikian pula, manakala seseorang memiliki iman yang benar kepada Allah, niscaya ia akan menjadi pribadi yang selalu mensyukuri nikmat Allah.
Jika keduanya berpadu dalam diri seseorang maka tidak ada alasan bagi Allah untuk menimpakan siksa padanya. Allah Maha Tahu siapa di antara manusia yang benar-benar beriman dan bersyukur kepada-Nya.
Barakallahu fiikum.