KTQS # 1725 MASA ‘IDDAH BAGI WANITA

KTQS # 1725

MASA ‘IDDAH BAGI WANITA

Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan. Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.

Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’ (haid) atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Masa ‘iddah, fungsi utamanya adalah untuk memastikan rahim perempuan itu benar-benar bersih. Sehingga jika ada laki-laki yang menikahi perempuan itu, maka benar-benar sudah bersih dan tidak ada lagi campuran air mani dari suami sebelumnya.

1. Masa ‘iddah bagi wanita yg ditinggal suami mati adalah empat bulan sepuluh hari.

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari…” (QS. Al-Baqarah[2]: 234)

Ayat ini mencakup semua wanita yang suaminya wafat, termasuk wanita muda, wanita tua.

Hitungan bulan yang dimaksud dalam ayat adalah bulan hijriyah, dimana satu bulannya 30 atau 29 hari.

2. Masa ‘iddah Wanita Hamil yang ditinggal mati.

Apabila wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya bisa lebih lama dari 4 bulan 10 hari bisa pula pendek, tergantung kelahiran, karena masa iddah wanita tersebut adalah dengan lahirnya janin.

“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. …” (QS. At-Talaq[65]: 4)

Contoh kasus, jika sang wanita melahirkan saat suaminya mati atau di hari kesatu, kedua dst setelah kematian suaminya, maka hari itu saat kematian suaminya & saat melahirkan, maka telah habis masa ‘iddahnya.

Sebaliknya apabila sang wanita baru saja hamil usia 1 bulan lalu suaminya mati maka masa ‘iddahnya juga sembilan bulan kemudian.

Dahulu di zaman Rosulullah ada kasus seperti itu.

“Sesungguhnya Subai’ah al-Aslamiyyah melahirkan beberapa hari setelah suaminya wafat, lalu ia menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin untuk menikah. Maka beliau pun mengizinkannya”. (HR. Al-Bukhari no. 4908)

Ini juga berlaku bahwa apabila seorang suami mentalaq seorang istri dalam keadaan hamil, maka sah talaqnya dan ‘iddahnya setelah melahirkan.

3. Masa ‘iddah wanita yang cerai dalam keadaan haid.

Yaitu tiga kali suci. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. Al-Baqarah[2]: 228)

4. Masa ‘iddah wanita yang cerai dalam keadaan wanita yang tidak haid.

Ada dua wanita yang tidak haid. Yaitu wanita yang masih kecil atau wanita yang sudah tua dan tidak lagi mengalami haid. Masa ‘iddahnya adalah tiga bulan dan tidak dengan hitungan haid.

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan…” (QS. At-Talaq[65]: 4)

Barakallahu fiikum.

_*Kajian Selanjutnya…*_
_Apa saja yang boleh & tidak boleh dilakukan bagi wanita dalam masa ‘iddah._

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *