KTQS # 1726 HAK WANITA DALAM MASA ‘IDDAH

KTQS # 1726

HAK WANITA DALAM MASA ‘IDDAH

Setelah kita mengetahui pengertian ‘iddah dan berapa lama masa ‘iddah pada beberapa wanita di kajian sebelumnya, sekarang kita akan ulas beberapa hak yang tetap diperoleh wanita ketika masa ‘iddahnya. Juga dijelaskan pula apa saja yang mesti dilakukan oleh wanita yang mengalami masa ‘iddah.

1- Untuk wanita yang mengalami masa ‘iddah karena talak roj’iy (talak yang masih bisa dirujuki), maka ia masih memiliki hak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.

Hal ini dikarenakan wanita yang ditalak roj’iy (yang masih bisa dirujuki), masih berstatus sebagai istri. Suami bisa saja rujuk kapan pun selama masa ‘iddah, tanpa melalui akad baru.

2- Untuk wanita yang ditalak ba-in (yang tidak bisa kembali kecuali dengan akad baru), maka ia masih mendapatkan hak rumah selama masa ‘iddah, namun tidak mendapatkan nafkah kecuali jika dalam keadaan hamil, maka tetap masih diberikan nafkah sampai melahirkan bahkan ketika mengasuh anak-anak tetap diberikan upah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya” (QS. Ath Tholaq: 6).

Ayat ini menunjukkan kewajiban memberikan tempat tinggal bagi setiap wanita yang masih dalam masa ‘iddah. Dan juga menunjukkan pengecualian bagi wanita hamil yaitu masih mendapatkan nafkah selain tempat tinggal.

Sebagaimana didukung pula dalam hadits lainnya mengenai kisah Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha ketika ia diceraikan oleh suaminya, lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika engkau dalam keadaan hamil”. (HR. Abu Daud no. 2290)

Berlaku pula bagi wanita dalam masa ‘iddah yang ditinggal mati suaminya, yaitu ia masih mendapatkan hak tempat tinggal.

Ada dalil khusus yang menerangkan hal ini. Dari Al Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri, dia berkata, Kemudian beliau bersabda,

“Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘iddahmu.” Ia berkata, “Aku melewati masa ‘iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Abu Daud no. 2300, At Tirmidzi no. 1204)

3- Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana ketika itu ia tidak boleh berhias diri dan tidak boleh memakai harum-haruman. Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,

“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari”. (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata,

“Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab. Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 2739).

Yang dimaksud dengan pakaian dalam hadits tersebut, yang tidak boleh dipakai dalam masa ihdaad (berkabung) adalah pakaian yang bukan perhiasan diri.

4- Untuk wanita yang ditinggal mati suaminya dan wanita yang telah ditalak ba-in (yang mesti kembali dengan akad baru) di mana wanita talak ba-in di sini tidak harus melakukan ihdaad (berkabung), maka ia tetap di rumah suami selama masa ‘iddah kecuali ada hajat.

Barakallahu fiikum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *