KTQS # 1786
WANITA HAID MENYENTUH MUSHAF AL-QURAN
Ada beberapa dalil masalah menyentuh mushaf Al-Quran yang dijadikan pegangan,
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Waqi’ah : 77-79,
اِنَّهٗ لَـقُرْاٰ نٌ كَرِ يْمٌ
innahuu laquraanung kariim
“dan (ini) sesungguhnya Al-Quran yang sangat mulia”. (Ayat 77)
فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍ
fii kitaabim maknuun
“dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz)”. (Ayat 78)
لَّا يَمَسُّهٗۤ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ
laa yamassuhuuu illal-muthahharuun
“tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan”. (Ayat 79)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa keliru jika berpendapat melarang menyentuh mushaf Al-Quran bagi orang yang berhadas dengan berdalil surat al-Waqi’ah : 77-79 diatas.
Kata ‘Al-Maknun’ dalam ayat di atas berarti tersimpan, tertutupi dari pandangan, tidak dijamah oleh tangan manusia.
Kata ‘Illal muthahharuun’ artinya kecuali orang-orang yang disucikan. Kalau seandainya yang dimaksud adalah orang yang berhadas dilarang menyentuh Al-Quran maka lafadznya tentu berbunyi ‘al-muthahhirun’, sebagaimana firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
innalloha yuhibbut-tawwaabiina wa yuhibbul-mutathohhiriin.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci”. (QS. Al-Baqarah : 222)
‘Muthahhirun’ artinya orang yang bersuci dengan berwudhu. Adapun ‘Muthahharuun’ artinya orang yang disucikan oleh Dzat lain (malaikat yang disucikan oleh Allah Ta’ala). (At-Tibyan Fi Aqsamil Qur’an, 1/140).
Penafsiran ini senada dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat ‘Abasa,
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)
“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang tinggi lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti”. (QS. ‘Abasa : 13-16)
Menafsirkan ayat tersebut dengan makna “Tidak boleh menyentuh (yaitu, kitab yang ada di Lauhul Mahfudz), kecuali al-muthahharun (orang-orang yang disucikan, yaitu malaikat)”.
Demikian tafsir yang dijelaskan para mufassirin, diantaranya Ibnu ‘Abbas, Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, adh-Dhahal, dll. (Tafsir Ibnu Katsir).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Al-Quran belum berbentuk mushaf saat turun ayat ini (Al-Waqiah 77-79), begitu pula selama hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Quran belum berbentuk mushaf. Al-Quran mulai dibukukan ketika kepemimpinan khalifah Abu Bakar radhiyallahu ’anhu. Lalu bagaimana mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Jadi tidak bisa menggunakan dalil ini (Al-Waqiah 77-79) untuk melarang wanita haid menyentuh mushaf al-Quran.
2. Hadits dari ‘Amr ibn Haz, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut tertulis,
لَا تَمُسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
“Tidak menyentuh Al-Quran, kecuali orang yang suci”.
Ulama menilai hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan sandaran dalil untuk melarang menyentuh mushaf al-Quran saat haid.
3. Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُؤْمِنُ لَا يَنْجُسُ
“Orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Maksud hadits ini jelas bahwa orang-orang mukmin itu suci sehingga tidak ada larangan memegang mushaf al-Quran saat haid.
Dengan demikian, tidak masalah bagi wanita yang haid untuk menyentuh mushaf al-Quran.
Barakallahu fiikum.