KTQS # 774
SHALAT HAJAT
Dalam buku-buku terdahulu dibahas shalat hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang shahih.
Salah satunya hadits dari Abdullah bin Abi Aufa ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yg mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseoqang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlah dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah swt dan bershalawat kepada Nabi saw, dan mengucapkan…(doanya panjang)”. (HR. At-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384)
Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini dalam sanadnya ada rawi Faid bin Abdurrahman dilemahkan dalam hadits”.
Bukhari dan Ahmad mengatakan, “Mungkarul hadits (haditsnya ditinggalkan)”.
Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu (Para ulama meninggalkannya)”.
Jadi derajat hadits ini DHAIFUN JIDDAN (lemah sekali).
Dari kelemahan hadits itulah shalat hajat TIDAK ADA.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Adapun yang disebut shalat hajat, telah datang hadits yang dhaif dan mungkar -sebatas pengetahuan kami-, tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits tersebut”.
KESIMPULAN : Shalat hajat tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi saw.
Diriwayatkan bahwa apabila Nabi saw menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau segera menuju shalat (shalat-shalat wajib atau sunnah yg biasa), karena Allah berfirman:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun ‘ala ad-Darb]
Barakallahu fiik !
copas dari KTQS