KTQS # 1734
INTI DARI RAMADHAN ADALAH MENINGKATKAN IBADAH & MENINGKATKAN KEBAIKAN
DAFTAR ISI
* Muqadimah
* Sikap Rasulullah dan para Sahabat Saat Menghadapi Wabah Penyakit
* Menjawab keraguan : Tidak Ada Penularan
* Menjawab keraguan : Masjid Tempat Berlindung Dari Penyakit
* Ketentuan Dalam Shalat Jumat
* Ketentuan Dalam Shalat Tarawih/Shalat Malam
* Ketentuan Dalam Puasa, Qodho & Fidyah
* Penelitian WHO Terkait Puasa Saat Wabah Penyakit
* Ketentuan Dalam Shalat Idul Fitri, Sunnah-sunnah di hari Idul Fitri
* Ketentuan Penyaluran Zakat & Sedekah, 8 Asnab
* Penutup
ISI
INTI DARI RAMADHAN ADALAH MENINGKATKAN IBADAH & MENINGKATKAN KEBAIKAN
MUQADIMAH
Kita wajib mengimani bahwa Allah sajalah yang kuasa menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman Allah, baik sakit maupun kesembuhan, baik kebaikan maupun keburukan.
Kita sebagai orang beriman juga harus meyakini bahwa semua hal termasuk musibah datangnya dari Allah.
Oleh karena itu, Allah-lah tempat meminta segala sesuatu (lihat QS. Al-Ikhlas: 2). Saat di timpa musibah, setiap muslim wajib bersabar. Semua urusan ia serahkan kepada Allah. Inilah esensi tawakal, dan tawakal adalah domain keimanan yang tak boleh tergoyahkan sedikitpun.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Taghabun: 11)
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal’.” (QS. Al-Taubah: 51)
Pada saat ditimpa musibah, kaum muslim harus bertaubat, meningkatkan ibadah, banyak berdoa, dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu.” (QS. al-Taghabun: 16).
Namun demikian, pada tataran syariat, orang beriman harus memaksimalkan ikhtiar dalam menghadapi wabah penyakit, apalagi dalam kondisi sudah berubah dari epidemi menjadi pandemi.
Orang beriman adalah mereka yang kokoh imannya dan total dalam ketaatannya, tak tergoyahkan keyakinannya dan maksimal dalam menghindari keburukan.
SIKAP RASULULLAH DAN PARA SAHABAT SAAT MENGHADAPI WABAH PENYAKIT
Agar wabah penyakit tidak menular makin luas, Nabi Muhammad SAW pernah menginstruksikan kebijakan isolasi. Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain, sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalamnya. Hal tersebut bisa jumpai dalam banyak riwayat.
Nabi SAW bersabda:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. (HR. al-Bukhari)
Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda:
“Wabah Tha’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tha’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, dan jika Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya”. (HR. Muslim)
Beliau SAW juga bersabda:
“Janganlah kalian mencampurkan (unta) antara yang sakit dengan yang sehat”. (HR. al-Bukhari)
Sebuah kisah diceritakan dari Ya’la bin ‘Atha dari ‘Amru bin al-Syarid dari bapaknya dia berkata; “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan membaiat) terdapat seorang yang berpenyakit kusta. Maka Rasulullah SAW mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’”. (HR. Muslim)
Baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah SAW dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung. Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh. Hal itu dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi yang lainnya.
Begitulah Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menghadapi wabah penyakit. Mereka melakukan ikhtiar maksimal dalam menghindarinya, termasuk kebijakan tidak memasuki daerah yang ada wabah dan tidak keluar jika daerahnya terkena wabah.
MENJAWAB KERAGUAN : TIDAK ADA PENULARAN
Adapun hadits Rasulullah SAW tentang tidak ada penularan sebagai berikut:
“Tidak ada penyakit menular, thiyarah dan burung hantu dan shafar (yang dianggap membawa kesialan)”. (HR. al-Bukhari)
Hadits tersebut adalah terkait sebab sakit, bahwa sakit dan sehat dari Allah SWT. Jadi maksud penegasian tersebut bukanlah penolakan bahwa tidak ada penularan, melainkan terkait keyakinan tentang sabab yang mendatangkan sakit bahwa seorang wajib mengimani bahwa sakit datangnya dari Allah.
Adapun penularan adalah kondisi (halah) yang kadang terjadi dan kadang tidak. Ini adalah tentang bahasan “سبب” (sebab) dan “حالة” (kondisi). Sebab sakit adalah dari Allah, bukan karena penyakit itu sendiri. Ini adalah wilayah keimanan.
Adapun hal-hal yang mengantarkan pada sakit bisa terjadi karena penularan dari orang yang sudah terserang penyakit. Demikianlah duduk masalahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Badz al-Ma’un fi Fadh al-Tha’un mengemukakan salah satu argumentasi kelompok jumhur ulama kaum muslim, bahwa penyakit bisa menular tapi bukan sifat sendirinya. Menular dengan qadar yang Allah tetapkan sebagai khasiat pada makhluq-Nya dan menjadi kebiasaan pada umumnya. Contohnya seperti sifat membakar adalah khasiat yang Allah berikan kepada api, dan terkadang bisa berlawanan dengan kebiasaannya. (Ibnu Hajar, Badz al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un)
Artinya, hadits tersebut bukan menolak penularan. Karena memang faktanya ada, dan Rasulullah menetapkan adanya penularan dalam hadits lain, sampai beliau bersabda:
“Larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa”. (HR. al-Bukhari)
MENJAWAB KERAGUAN : MASJID TEMPAT BERLINDUNG DARI PENYAKIT
Ada sebagian syubhat atau keraguan yang disampaikan sebagai kalangan bahwa saat wabah penyakit menyebar, justru umat Islam semestinya mendatangi masjid. Masjid dianggap sebagai tempat yang aman dari penyakit.
Hal tersebut didasarkan pada beberapa hadits. Berikut ini adalah hadits-hadits yang dimaksud beserta tanggapannya:
1. Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid”. (HR. Ibnu Asakir dan Ibnu Adi)
Status hadits : Dhaif
Pada sanad ini terdapat Zafir bin Sulaiman, hadits-hadits yang diriwayatkannya terbalik-balik sanad dan matannnya.
Ibn Hajar mengomentari dalam al-Taqrib, dhaif.
2. hadits dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka”. (HR. Ibnu Adi, al-Dailami, Abu Nu’aim dan al-Daraquthni)
Status hadits : Dhaif, gharib (munkar)
3. Imam Ibn Katsir, menukil dsri shahabat Anas bin Malik ra berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka”. (HR. al-Baihaqi, dalam Syu’ab al-Iman)
Status hadits : Dhaif
Pada semua jalur sanad hadits di atas, berpangkal pada rawi bernama Shalih al-Marri. Para ahli hadits menilai sebagai rawi yang munkar.
4. al-Imam al-Sya’bi, ulama salaf dari generasi tabi’in ra berkata:
“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid”. (HR. al-Baihaqi, dalam Syu’ab al-Iman)
Status hadits : Dhaif
Dari sisi sanad, riwayat ini maqthu dari al-Syabi’, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Sebenarnya atsar ini statusnya hasan, namun seringkali keliru menerjemahkan kalimat “faraghu”, yang ia artikan “apabila ketakutan”. Semestinya diartikan “apabila selesai dari suatu hal”.
Dari sisi matan, hadits tersebut bertentangan dengan matan hadits lain yang lebih kuat. Misalnya hadits riwayat imam al-Bukhari yang menegaskan bahwa jika Allah menurunkan adzab, maka semua pasti kena, baik kepada orang shalih maupun ahli maksiat; apakah ahli masjid ataupun yang tak pernah ke masjid.
“Ibnu Umar ra. mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: “Jika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan mengenai siapa saja yang berada di tengah-tengah mereka, lantas mereka dihisab sesuai amalan mereka”. (HR. al-Bukhari)
Demikian juga jika dikaitkan dengan adanya penyebaran wabah penyakit, justru kita diperintahkan untuk melakukan isolasi diri dan mengisolasi yang lain, atau dalam istilah adalah lockdown. Haditsnya sudah disampaikan diawal.
Adapun jaminan Allah bagi orang yang memakmurkan masjid adalah terkait pentunjuk (hidayah). Allah SWT berfirman:
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)”. (QS. At-Taubah: 18)
Dengan demikian, dalam kondisi tersebarnya wabah penyakit dengan penularan yang tinggi dan tak terkendali, tidak tepat jika malah berkumpul dalam jumlah besar di masjid-masjid. Masjid bukan tempat berlindung dari penyakit. Masjid adalah tempat bagi umat Islam beribadah dan bertaubat.
KETENTUAN DALAM SHALAT JUMAT
Lantas bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah penyakit menular? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah penyakit seperti saat ini.
Sebenarnya para ulama fiqih telah menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian.
Beberapa kaidah dasar dalam perkara ini adalah:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
“Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”.
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya harus dihilangkan”
Kaidah-kaidah itu semua dapat diterapkan dalam kondisi sekarang, bahwa bahaya yang diduga akan ditimbulkan dari penyebaran wabah penyakit menular seperti virus Corona harus dihilangkan dan dicegah.
Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut:
“Bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat”. (al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz I, hlm. 360).
Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdab menuturkan:
(Ketiga) Tidak wajib shalat Jumat bagi orang sakit, meskipun shalat Jumatnya orang kampung tidak sah karena jumlah jama’ahnya kurang karena ketidakhadirannya.
Imam al-Mutawalli berkata: “Orang yang terkena diare berat juga tidak wajib shalat Jumat, bahkan jika dia tidak mampu menahan diarenya maka haramnya baginya shalat berjama’ah di masjid, karena akan menyebabkan masjid menjadi najis”.
Di antara udzur shalat Jumat dan shalat berjama’ah adalah hujan yang dapat membasahi pakaiannya dan tidak diketemukan pelindung hujan, sakit yang teramat sangat, merawat orang sakit yang tidak terdapat yang mengurusinya, mengawasi kerabat (istri, mertua, budak, teman, ustadz, orang yang memerdekannya) yang hendak meninggal atau berputus asa, khawatir akan keselamatan jiwa atau hartanya, menyertai kreditur dan berharap pengertiannya karena kemiskinannya, menahan hadats sementara waktu masih lapang, ketiadaan pakaian yang layak, kantuk yang teramat sangat, angin kencang, kelaparan, kehausan, kedinginan, jalanan becek, cuaca panas, bepergian ke sahabat dekat, memakan makanan busuk setengah matang yang tidak bisa dihilangkan baunya, runtuhnya atap-atap pasar, dan gempa. (al-Hadrami al-Sa’di, al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, hlm. 91)
Oleh karena itu, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 sudah tepat. Melakukan shalat jum’at dirumah 4 rakaat tanpa khutbah.
Itulah langkah terbaik saat ini. Hal ini juga selaras dengan sikap sebagian besar shahabat dan para tabi’in.
Amru bin al-Ash ra., ketika menjadi pemimpin beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:
“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa, maka ia akan bekerja bagaikan bara api, maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung”. (Ibn Hajar al-Asqalani, Badz al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un, hlm. 163).Maksudnya adalah jauhi penyakit tersebut.
KETENTUAN DALAM SHALAT TARAWIH/SHALAT MALAM
Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, bisa duduk untuk istirahat. Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk).
Sehingga duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
Menurut hadits dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tarawih sebanyak sebelas rakaat dengan ketentuan empat rakaat, empat rakaat, tiga rakaat.
“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at”. (HR Bukhari, Muslim)
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
Dalil inilah yang menjadikan shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibulan Ramadhan atau diluar bulan ramadhan adalah sebelas rakaat. Shalat malam itu meliputi Shalat tarawih atau shalat tahajud. Bagi yang terbiasa shalat tahajud, maka lakukanlah shalat tahajud seperti biasa tanpa harus melakukan shalat tarawih, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam tidak lebih dari sebelas rakaat.
Bagaimana pelaksanaan shalat tarawih selama wabah penyakit merajalela disekitar kita? Tentunya sama saja dengan cara pelaksanaan shalat fardhu dan shalat jum’at yaitu dirumah. Apatah lagi shalat malam ini adalah shalat sunat yg tentunya lebih baik dirumah.
Ada hadits yang menyatakan fadhilah shalat berjamaah dimasjid saat dibulan Ramadhan, seperti ini :
1.Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu,
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”
Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa. (Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah, 6)
Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). (At Tamhid, 3/311-317: Sunan Abi Daud, 166)
2. “Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7)
Namun tentunya anjuran tsb menjadi tidak bisa dikerjakan dalam kondisi wabah penyakit, seperti yang sudah dijelaskan diawal.
insya Allah karena kondisi tidak memungkinkan, maka bagi yang terbiasa selalu melakukan shalat malam maka fadhilah tersebut tetap didapatkan.
Jika seseorang tidak mampu menghadiri shalat jama’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, ingatlah keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat”. (HR. Bukhari, no. 2996)
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab: “Dicatat bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan)
Inti dari pembahasan, pentingnya beramal rutin (kontinu) karena saat kita ada uzur beramal, tetap dicatat sebagaimana kita melakukannya secara rutin. Terapkan kaedah hadits di atas untuk masalah ibadah apa pun.
Ddan dalam beberapa riwayatpun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak selalu setiap hari shalat malam berjamaah dimasjid, ini beberapa riwayatnya :
– Hadits Nu’man bin Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berkata:
“Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur”. [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]
– Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Ia berkata:
“Kami puasa, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi (malam dua puluh tiga), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam.
Lalu kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, ‘Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’
Kemudian beliau ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat sahur”. (HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad. Shahih)
KETENTUAN DALAM BERPUASA
Puasa di bulan Ramdhan adalah wajib ‘ain, setiap orang yang beriman wajib menjalankannya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah/2: 183)
Jika tidak menjalankan puasa tanpa alasan syar’i maka tidak bisa menggantinya di hari yang lain, selain bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ia menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi, kecuali udzur syar’i, yaitu alasan yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
FIDYAH & QODHO
A. Hukum FIDYAH adalah wajib :
“Dan wajib bagi orang yg berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Baqarah:184)
Bagi yang meninggalkan puasa, karena alasan syar’i dan harus membayar fidyah :
1. Perempuan yg hamil, melahirkan dan menyusui.
2. Seseorang yg kondisi fisiknya memang tidak memungkinkan lagi berpuasa, seperti kakek-nenek yg sudah tua renta.
3. Orang sakit yg tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
Adapun mengenai kadar atau takaran fidyah itu adalah 1 mud / 1 sho’ / 1,5 kg (Al Qodhi ‘Iyadh, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21) makanan pokok setempat untuk satu hari yg mencukupi dua kali makan satu orang (sahur dan buka).
Diberikan kepada org miskin itu berupa makanan pokok BUKAN uang, ATAU dititipkan berupa uang kepada Lembaga Amil/Panti Asuhan yg nantinya mereka memberikan langsung kepada org miskin dalam bentuk nasi beserta lauk pauknya setiap hari.
Misalnya sekali makan Rp. 15rb (atau 20rb dst) x 2 kali makan x 30 hari, maka fidyahnya Rp. 900 rb dst.
Waktu pendistribusian makanannya adalah setiap hari, apabila akan menitipkan uang utk biaya masak, bisa dibayarkan sebelumnya, atau bisa juga sekaligus sebulan (Lihat Irwaul Gholil, 4/21-22 dan Syarhul Mumthi’, 2/22).
Apabila sudah Fidyah maka gugur kewajiban Qodhonya artinya tidak perlu shaum lagi. Fidyah itu pengganti puasa.
B. Bagi yang meninggalkan puasa dan wajib meng-QODHO puasanya di bulan lain, Tidak berpuasa dgn alasan ini, tidak bisa diganti dgn fidyah, yaitu :
1. Wanita Haid
2. Orang yg safar
3. Sakit biasa
Allah berfirman : “Barangsiapa diantara kalian yg mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yg sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yg ditinggalkannya di hari yg lain”. (Al Baqarah : 185)
Pada intinya bahwa Puasa di bukan Ramadhan tetap wajib dijalankan seperti biasa walaupun dimasa wabah penyakit ini karena tidak mengganggu dan tidak dalam situasi ikut menyebarkan penyakit.
PENELITIAN WHO TERKAIT PUASA SAAT WABAH PENYAKIT
Bahkan menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di University of Southern California, puasa selama tiga hari dapat memiliki peningkatan yang signifikan dalam kesehatan, khususnya daya tahan tubuh.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti menemukan bahwa rasa lapar memicu sel-sel induk dalam tubuh memproduksi sel darah putih baru yang melawan infeksi.
Para peneliti menyebut puasa sebagai “pembalik sakelar regeneratif” yang mendorong sel induk menciptakan sel darah putih baru. Penciptaan sel darah putih baru inilah yang mendasari regenerasi seluruh sistem kekebalan tubuh.
“Ini memberi tanda ‘OK’ bagi sel induk untuk terus maju dan berkembang biak membangun kembali seluruh sistem,” ungkap Profesor Valter Longo.
“Kabar baiknya adalah tubuh menyingkirkan bagian-bagian dari sistem yang mungkin rusak, tua, atau tidak efisien selama puasa,” katanya.
Melihat kondisi dunia saat ini yang tengah dilanda pandemi global Covid-19, memungkinkan para umat muslim untuk menjalankan ibadah puasa dengan menahan lapar dan haus selama 12 jam sekaligus mencegah infeksi virus corona (Covid-19).
Jika dikaitkan dengan hasil penelitian Profesor Valter Longo yang menyebutkan bahwa berpuasa dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, maka dengan berpuasa bisa dijadikan sebagai benteng perlindungan diri terhadap infeksi virus corona (Covid-19).
WHO merilis dengan menyatakan orang sehat harus tetap berpuasa dalam judul “Safe Ramadan Practices in the Context of the Covid-19”.
“No studies of fasting and risk of COVID-19 infection have been performed. Healthy people should be able to fast during this Ramadan as in previous years, while COVID-19 patients may consider religious licenses regarding breaking the fast in consultation with their doctors, as they would do with any other disease.”
“Hingga saat ini, tidak ada studi yang menyatakan berpuasa berisiko dalam hal infeksi Covid-19. Orang sehat semestinya bisa berpuasa selama Ramadhan ini seperti tahun-tahun sebelumnya, sedangkan bagi pasien COVID-19 dapat mempertimbangkan izin syariat untuk berbuka puasa dengan konsultasi dokter, seperti yang akan mereka lakukan dengan penyakit lainnya,”
KETENTUAN DALAM SHALAT IDUL FITRI
Para ulama berpendapat shalat Id hukumnya sunnah.
Oleh karena itu, setiap muslim yang tidak memiliki uzur dan halangan hendaknya bersemangat untuk menjalankan ibadah ini.
Terlebih lagi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan para wanita yang sedang haid dan wanita yang dipingit untuk hadir di lapangan walau mereka tidak ikut shalat Id. Sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu’anha :
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada hari Ied, untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Kemudian seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah jika diantara kami ada yang tidak memiliki pakaian, lalu bagaimana?’. Rasulullah bersabda: ‘Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya‘”. (HR. Abu Daud, no.1136)
Lalu ada beberapa dalil yang lainnya terkait tatacara shalat Idul Fitri seperti, Berbuka saat bangun tidur sebelum shalat Id, lalu mandi, berpakaian rapih dan bersih, menggunakan wewangian.
Sunnah-Sunnah Di Hari Idul Fitri
– Mandi.
Dalilnya: “Seorang lelaki bertanya kepada Ali radhiallahu’anhu tentang mandi, ia menjawab: ‘Mandilah setiap hari jika engkau mau’. Lelaki tadi berkata: ‘bukan itu, tapi mandi yang benar-benar mandi’. Ali menjawab: ‘Mandi di hari Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha dan hari Arafah’” (HR. Al Baihaqi)
– Memakai pakaian yang terbaik.
Dalilnya : “Ibnu Umar biasa mengenakan bajunya yang terbaik pada Idul Fitri dan Idul Adha” (HR. Al Baihaqi 6143, dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari2/510)
– Makan dahulu sebelum shalat Id
Dalilnya : “Nabi Shallallahu’alahi Wasallam biasanya tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga makan terlebih dahulu, dan tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau kembali dari shalat” (HR. Ibnu Majah 1434)
Karena kondisi seperti ini, maka lakukan shalat Id dirumah dua rakaat dengan takbir tujuh & lima kali, tanpa khutbah, insya Allah tatacara diatas tetap dilakukan seperti biasa dan fadhilahnya tetap dapat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, insya Allah.
KETENTUAN PENYALURAN ZAKAT & SEDEKAH
Salah satu pintu yang dibuka oleh Allah untuk meraih keuntungan besar dari bulan Ramadhan adalah melalui sedekah. Islam sering menganjurkan umatnya untuk banyak bersedekah.
Dan bulan Ramadhan, amalan ini menjadi lebih dianjurkan lagi. Dan demikianlah sepatutnya akhlak seorang mukmin, yaitu dermawan.
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan bahkan memberi contoh kepada umat Islam untuk menjadi orang yang dermawan serta pemurah. Ketahuilah bahwa kedermawanan adalah salah satu sifat Allah Ta’ala, sebagaimana hadits:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk”. (HR. Al Baihaqi)
Berhemat dalam bersedekah akan menjadikan dirinya hamba yang merugi.
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (QS. Al A’raf: 99)
Hamba yang senang bersedekah akan terhapus dosanya dan masuk surga melalui pintu khusus.
“Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api”. (HR. Tirmidzi)
“Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah”. (HR. Bukhari no.3666, Muslim no. 1027)
Bagaimana sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bulan Ramadhan?
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhari, no.6)
Dari hadits di atas diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dasarnya adalah seorang yang sangat dermawan.
Ini juga ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berani dan paling dermawan.” (HR. Bukhari no.1033, Muslim no. 2307)
Namun bulan Ramadhan merupakan momen yang spesial sehingga beliau lebih dermawan lagi. Bahkan dalam hadits, kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan melebihi angin yang berhembus.
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang amat dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril untuk membacakan padanya Al-Qur’an. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan padanya Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ditemui jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus”. (HR. Bukhari, Muslim)
Diibaratkan demikian karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat ringan dan cepat dalam memberi, tanpa banyak berpikir, sebagaimana angin yang berhembus cepat.
Dalam hadits juga angin diberi sifat ‘mursalah’ (berhembus), mengisyaratkan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki nilai manfaat yang besar, bukan asal memberi, serta terus-menerus sebagaimana angin yang baik dan bermanfaat adalah angin yang berhembus terus-menerus.Penjelasan ini disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari.
Oleh karena itu, kita yang mengaku meneladani beliau sudah selayaknya memiliki semangat yang sama. Yaitu semangat untuk menebarkan kebaikan dengan bersedekah lebih sering, lebih banyak dan lebih bermanfaat di bulan Ramadhan, melebihi bulan-bulan lainnya.
Zakat & Sedekah bisa melalui Transfer Bank tanpa perlu bertatap muka dan bertemu, jika itu zakat maka diharuskan untuk memberitahu kepenerima yaitu badan amil atau lembaga sosial bahwa uang itu adalah zakat, karena zakat sudah ditentukan besarannya dan penyalurannya khusus untuk delapan asnab/kelompok saja tidak bisa bebas penggunaannya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.
Perintah membayar zakat diwajibkan kepada setiap umat Islam yang sudah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara layak.
Orang-orang yang berhak menerima zakat :
1.Fakir (orang yang tidak memiliki harta)
2.Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi)
3.Amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat)
4.Mualaf (orang yang baru masuk Islam)
5.Riqab (hamba sahaya atau budak)
6.Gharim (orang yang memiliki banyak hutang)
7.Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan)
8.Fisabilillah (pejuang di jalan Allah)
PENUTUP
Tetap khusyu dalam menjalankan Ibadah dibulan Ramadhan dalam kondisi apapun, karena semua ini adalah sebuah keniscayaan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan panduan dalam menjalankannya.
INTI DARI RAMADHAN ADALAH MENINGKATKAN IBADAH & MENINGKATKAN KEBAIKAN
Dan kita masih tetap bisa melakukannya dirumah !
Demikian.
Barakallahu fiikum.
Allahul Musta’an.