KTQS # 1767
SAFAR & SHALAT JAMA QASHAR
A. Dalil Shalat Jama Qashar
Orang yang Sedang Safar bisa menjama qashar Shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu”. (An-Nisaa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Dia berkata:
“… jika kamu takut diserang orang-orang kafir…”. (An-Nisaa: 101)
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. ‘Umar berkata, “Dulu, aku juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakannya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau bersabda: “Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya”. (HR. Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3762)], Shahiih Muslim (I/478 no. 686), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/64 no. 1187), Sunan an-Nasa-i (III/116), Sunan Ibni Majah (I/339 no. 1065), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/309 no. 5025))
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Melalui lisan Nabi kalian, Allah mewajibkan shalat empat raka’at dalam keadaan mukim, dua raka’at ketika safar, dan satu raka’at ketika dalam keadaan takut”. (HR. Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 876)], Shahiih Muslim (I/479 no. 687), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/124 no. 1234), Sunan an-Nasa-i (III/118), dan Sunan Ibni Majah (I/339 no. 1068))
Dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Shalat dalam safar dua raka’at, shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adhha dua raka’at. Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (HR. Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 871)], Sunan an-Nasa-i (III/183), dan Sunan Ibni Majah (I/338 no. 1063))
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Pertama kali, shalat diwajibkan dua raka’at. Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. Sedangkan pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka’at)”. (HR. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/569 no. 1090)], Shahiih Muslim (I/478 no. 685), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/63 no. 1186), dan Sunan an-Nasa-i (I/225))
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku pernah menemani perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian bersama ‘Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama ‘Utsman, dia tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi kalian…”. (QS. Al-Ahzaab: 21)”. (HR. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih Muslim (I/479 no. 689)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/90 no. 1211), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/577 no. 1102), dan Sunan an-Nasa-i (III/123))
Ini menandakan bahwa shalat jama qashar saat safar adalah sunnah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka tidak pernah meninggalkannya. Para Ulama mengatakan bahwa shalat jama qashar saat safar adalah wajib, kecuali mengikuti shalat berjamaah bersama imam mukim maka lakukan dengan rakaat yang lengkap.
B. Batasan Jarak
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda dalam menentukan batasan jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-sampai Ibnu al-Mundzir dan yang lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat dalam masalah ini.
Yang rajih (kuat) adalah, “Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali yang disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan mereka (orang-orang Arab). Jika memang safar mempunyai batasan jarak, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para Sahabat pun tidak akan lalai menanyakan hal tersebut pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga tidak akan bersepakat untuk mengabaikan penukilan riwayat yang menjelaskan batasan tersebut kepada kita”. (HR. Al-Muhalla (V/21))
Jadi tidak ada batasan jarak untuk safar, saat niat akan safar maka saat itu pun keringanan untuk shalat jama qashar berlaku sampai kembali kerumah.
C. Batasan Waktu
Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar hingga meninggalkan daerah tersebut. Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengqashar shalat”. (HR. Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1094)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/102 no. 1223))
Jadi selama apapun itu ia tetap boleh jama’ dan qashar sholat, walaupun tinggalnya di situ dalam waktu yang sangat lama.
Imam Al-Turmudzi dalam kitab sunan-nya meriwayatkan beberapa hadits perihal batasan hari di mana seorang musafir tidak lagi mendapatkan rukhshoh, lalu berliau menutup dengan perkataan bahwa ulama telah berijma’ bahwa bagi siapa yang tidak berniat mukim dan tidak menentukan jumlah hari singgahnya, mereka tetap mendapatkan rukhshoh Qashar dan jama’ sholat, walaupun lamanya sampai tahunan. (Sunan Al-Tirmidzi 2/431)
Intinya tidak ada batasan waktu untuk safar, seberapa lama pun selama itu masih safar maka shalat jama qashar berlaku.
Kesimpulan :
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling kontradiksi.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf”. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).
Apatah lagi sekarang ini alat transportasi semakin canggih dan cepat sehingga waktu yang di butuhkan untuk berpergian semakin pendek, hal ini tidak menggugurkan rukshoh (keringanan) shalat jama qashar.
Walaupun untuk mencapai tempat tujuan yang jauh dapat dilakukan dengan waktu yang pendek, atau sebaliknya untuk mencapai tempat tujuan yang dekat namun dilakukan dengan waktu yang panjang karena keterbatasan alat transportasi yang digunakan, rukhsoh tetap berlaku.
Semoga Kita Selalu Sehat & Bahagia.
Barakallahu fiikum.