LARANGAN MERAYAKAN TAHUN BARU SUDAH ADA SEJAK JAMAN NABI SAW
Perhatikan, larangan merayakan tahun baru !
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yg biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan). Tanya Rasul Saw : “Ada apa dgn dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul Saw : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tsb dgn dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567).
Imam al-A’zhim Abadi menjelaskan bahwa dua hari yg dimaksud adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Keduanya merupakan dua perayaan Jahiliyyah.
Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yg diukurkan ketika matahari berada pada titik bintang haml/aries, dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dgn hari pertama Muharram dalam tahun berdasarkan bulan (Hijriah).
Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru matahari (Masehi).
Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun. (‘Aunul-Ma’bud bab shalatil-‘idain).
Ini berarti bahwa hadits di atas dgn tegas menyatakan perayaan tahun baru masehi / hijriyah sebagai perayaan jahiliyyah yg harus ditinggalkan, bukan diikuti.
Hadits di atas juga hanya membatasi dua hari yang boleh dirayakan hanya pada ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja.
Dan, orang yg merayakan Tahun Baru, artinya sudah terlalu dekat, simpati, dan cinta kepada orang-orang kafir yg menjadi sumber awal perayaan tersebut.
Salam !